Untuk mencapai sasaran MDGs terkait HIV / AIDSmembutuhkan pendekatan yang intensif , menyeluruh ,komprehensif ala total football. Termasuk mengatasi ketimpangan gender , yang membuat perempuan makin rentan terinfeksi HIV
Sejak muncul pertama kali di Indonesia tahun 1987, kasus HIV / AIDS terus mendapatkan perhatian dan respon serius dari Pemerintah Indonesia, terutama karena kecenderungan meningkatnya jumlah kasus, penyebaran dan masalah yang dihadapi. Terlebih ketika penanggulangan kasus HIV / AIDS itu dikaitkan dengan sasaran Millenium Development Goals, khusunya poin MDGs yakni mengendalikan dan menurunkan infeksi baru HIV. “ Perlu diberikan perhatian khusus pada sasaran MDGs yang msih off track, antara laian sasaran MDG-6, yaitu mengendalikan dan menurunkan infeksi baru HIV ”, ujar Menteri Kesehatan RI dr. Nafsiah Mboi. Sp.A, MPH. Tantangan mencapai sasaran MDGs dalam penanggulangan HIV / AIDS semaki berat ketika terjadi pergeseran faktor resiko penularan HIV. Dampaknya, antara lain penularan HIV tidak lagi terkonsentrasi pada populasi beresiko tinggi, seperti penjaja seks, pengguna narkoba suntik ( penasun ),dan gay. Namun mulai menyebar ke kelompok- kelompok masyarakat umum yang selama ini diketahui tidak beresiko tinggi.
Perilaku Seks Beresiko Berdasarkan hasil survey perubahan perilaku yang dirilis Kementrian Kesehatan, secara kumulatif pada periode 2006-2010, sebanyak 55% dari kasus AIDS disebabkan oleh hubungan seks heteroseksual, sedangkan penasun 34%. Angka ini berbanding terbalik dibandingkan periode 2001-2005, dimana penasun menjadi faktor resiko tertinggi 53% diatas faktor resiko hubungan seks heteroseksual 37%. Pergeseran faktor resiko penularan HIV ini tidak terlepas dari agresifnya harm reduction di kalangan pengguna napza terutama napza suntik, seperti program pengadaan alat suntik steril dan terapi rumatan metadon. Di sisi lain, perilaku seks beresiko justru cenderung terus meningkat. Di tahun 2012 saja ( sampai September ), transmisi seksual menjadi faktor resiko AIDS tertinggi 81,8%, dimana proporsi terbesarnya adalah penularan di antara perilaku heteroseksual 72,4%. Sayangnya, di kalangan kelompok masyarakat yang beresiko tertular HIV, pemahaman terhadap HIV/AIDS itu sendiri juga cenderung mengalami penurunan. Salah satu indikasinya antara lain tidak terjadinya peningkatan yang signifikan dalam perilaku penggunaan kondom secara konsisten pada seks beresiko.Hal itu terungkap dalam laporan Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011 yang menyasar kelompok beresiko tinggi di Indonesia. Laporan menyebutkan, tingkat penggunaan kondom di kalangan wanita pekerja seks, waria dan gay masing-masing 35%,41% dan 32%. Angka penggunaan kondom ini tidak jauh beranjak dari hasil laporan STBP 2011, dimana penggunaan kondom di ketiga kelompok masing-masing 31%, 37% dan 28%. “ Untuk upaya penanggulangan HIV/AIDS, peningkatan ini tidak signifikan. Kita hanya bisa mengendalikan epidemic ini kalau penggunaan kondom secara konsisten di atas 80%,” tegas Menkes. Fakta lain yang tidak kalah mengkhawatirkan, laporan itu menyebut, hanya 3% saja pria potensial resiko tinggi (risti) yang menggunakan kondom secara konsisten dalam hubungan seks beresiko. Pria risti adalah pria heteroseksual yang beresiko tinggi tertular HIV/AIDS akibat perilaku membeli seks. Hal ini turut memberi andil dalam peningkatan penularan HIV di kalangan pria potensial risti. Data STBP memperlihatkan dalam kurun waktu empat tahum ( 2007-2011 ), angka penularan HIV di kalangan pria potensial risti meningkat tujuh kali lipat. Yang sangat memperihatinkan, data STBP 2007 dan 2011 menyebut, rata-rata sekitar 70% dari pria potensial risti itu berstatus suami alias menikah.Artinya,mereka menempatkan perempuan atau sang istri pada posisi rawan tertuar HIV. Dan, kalau sang istri hamil, bayi yang akan dilahirkan juga rawan tertular HIV. “ Mereka inilah yang menjadi jembatan penularan HIV dari populasi beresiko tinggi ke masyarakat umum, seperti ibu rumah tangga”, terang Menkes.Tahun ini saja, sudah ada 1.103 kasus AIDS pada perempuan, dimana berdasarkan status pekerjaanya yang di dominasi ibu rumah tangga, melampaui kasus AIDS di kalangan wanita pekerja seks komersial. Sementara itu, kasus AIDS yang menimpa bayi usia 0 – anak usia 14 tahun mencapai 150 kasus.
Dari hulu ke hilir Kementrian Kesehatan RI terus meningkatkan upayanya dalam menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia, melalui strategi dan program-program penanggulangan nyata, mulai dari hulu (upaya-upaya promosi) dampai hilir (upaya-upaya preventif dan pengobatan) Menkes menyatakan bahwa upaya pengendalian HIV/AIDS dilakukan dengan pendekatan ala total football. Yaitu pendatan yang intensif, menyeluruh,komprehensif dan terkoordinasi. Pendekatan itu diterapkan pada upaya-upaya penanggulangan HIV/AIDS, yang diantaranya meliputi promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan pengetahuan HIV/AIDS yang menyasar pada remaja usia 15-24 tahun (kampanye Aku Bangga,Aku Tahu), populasi rewan terinfeksi dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), peningkatan upaya pengobatan, dukungan dan perawatan penderita AIDS di 322 RS rujukan ARV, serta melakukan upaya moitoring, evaluasi dan penelitian. Upaya yang tak kalah pentng untuk menekan penualaran HIV/AIDS adalah pencegahan penularan pada hubungan seks beresiko tinggi. Salah satu cara untuk menghindari penularan tersebut adalah dengna mendorong penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko.Namun,langkah ini cukup dilematis dan sering dipahami keliru atau terjadi mispersepsi, terutama ketika dikaitkan dengan nilai-nilai agama. Upaya mendorong penggunaan kondom dikhawatirkan akan menyuburkan seks bebas utmanya di kalangan remaja. Sejatinya, penggunaan kondom ini diutamakan pada orang-orang yang berperilkau seks beresiko. Terkait hal di atas, Menkes menegaskan upaya-upaya promotif dalam menanggulangi HIV/AIDS di sisi hulu, mulai dari pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS di kalangan remaja sampai penanaman nilai-nilai moral dan agama sangat penting dilakukan agar masyarakat menjauhkan diri dari perilaku beresiko. “ Namun ketika ada masyarakat yang tetap memilih berperilaku beresiko, maka adalah tugas kami untuk memastikan agar mereka tidak tertuar dan menularkan HIV”, tegasnya.
Melindungi perempuan dan anak Hari AIDS Sedunia setiap tahun diperingati oleh seluruh negara dunia pada tanggal 1 Desember. Peringatan tahun ini mengangkat tema “ Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS “. Tema ini sangat relevan dengan kondisi penularan HIV/AIDS di Indonesia, yang kini tak hanya terbatas pada populasi beresiko tinggi, tetapi juga kelmpok umum, seperti ibu rumah tangga. Stigma masyarakat yang memandang HIV/AIDS hanya di derita perempuan penjaja seks tentu akan semakin menambah beban sosial bagi ODHA, terutama ODHA perempuan. Padahal, saat ini banyak perempuan yang tidak berperilaku seksual resiko tinggi namun terinfeksi dari pasangan tetapnya (suami) yang beresiko tinggi. Dan dampaknya juga menimpaanak-anak. Kunci pencegahan penularan HIV dan AIDS yang peduli perempuan adalah pencegaan penularan HIV dan AIDS yang mengikutsertakan segala upaya untuk turut menanggulangi ketidak setaraan gender. Kerentanan perempuan terhadap HIV lebih banyak disebabkan ketimpangan gender, yang membuat perempuan tak berdaya mengendalikan perilaku seksual atau menyuntik narkoba dari suami atau pasangan tetapnya. “ Laki-laki itu penentu, mau pakai kondom atau tidak, posisi tawar perempuan dalam hal ini memang masih rendah.Seorang istri seringkali tak kuasa menolak hubungan seks tanpa kondom dengan suaminya meski tahu kalau suaminya megidap HIV” ,ujar Menkes. Oleh sebab itu, program - program penanggulangan AIDS di masa medatang juga membutuhkan perhatian khusus terhadap persoalan stigma dan diskrimianasi , termasuk upaya-upaya untuk memperkuat hak-hak reproduksi dan posisi tawar perempuan. Dan, tak kalah penting, menigkatkan partisipasi laki-laki/suami dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
:: Beri Kami FeedBack Secara Bijak ::